Jakarta,CENTANGSATU,-Rabu,(2/4/2025) pagi kemarin, saya tiba bersamaan dengan Charly Sahetapy untuk membuka rumah duka di Rumah Duka Sentosa RSPAD Gatot Subroto, Jakarta.
Ferenc Raymond Sahetapy, atau yang lebih dikenal dengan Ray, meninggal dunia semalam dan langsung diurus oleh petugas rumah sakit untuk disiapkan sebagai jenazah Muslim.
Sejak malam itu, Ray sudah dikafani dan “disimpan” di ruangan tersebut sendirian.
Dengan atribut jenazah Muslim.
Namun Rumah Duka tersebut ditata menjadi rumah keluarga Ray yang non-Muslim, yang mana ruangan diatur sesuai kebiasaan agama mereka. Dikatakan pula bahwa akan ada Doa Penghiburan yang akan dilakukan di sana.
Maka untuk melaksanakan Doa Penghiburan, atribut pada jenazah ditutup dengan kain batik.
Rasa hati ini, andai ingin memperlakukan Ray sesuai dengan ajaran Islam, maka sebaiknya jenazahnya harus dipindahkan dari rumah duka dan dibawa ke rumah keluarga Muslim. Tetapi ke mana?
Saya tak mampu bersikap apalagi berbuat, karena ini urusan keluarga.
Namun, di hati saya ada panggilan kewajiban sebagai seorang Muslim terhadap sesama Muslim, yang dikenal dengan istilah fardhu kifayah.Fardhu kifayah adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh sekelompok orang atau komunitas, bukan kewajiban individu.
Tetapi jika sudah ada muslim yang menjalankan kewajiban ini, maka kewajiban tersebut gugur bagi muslim yang lain.Fardhu kifayah yang dilakukan sejauh ini baru sampai pada tahap memandikan dan mengkafani jenazah. Mensolatkannya kabarnya akan dilakukan pada Jumat siang setelah shalat Jumat di Masjid Istiqlal.
Semoga Ray mendapatkan nikmat husnul khotimah, meninggal sebagai tokoh besar, dan dihadiri oleh ratusan jamaah shalat jenazah. Aamiin.
Setelah itu, jenazah Ray akan dimakamkan di pemakaman Muslim di TPU Tanah Kusir.
Masa menanti saat penguburan, dari Rabu hingga Jumat, adalah waktu yang panjang bagi jenasah menantikan putranya yang terbang dari Amerika, yang diperkirakan baru akan tiba pada Kamis malam.
Saya ber-halu, dalam kebiasaan Muslim, jenazah akan tetap dijaga dalam suasana lantunan doa Yasinan dan aroma kayu cendana, serta dikelilingi oleh saudara-saudara Muslimnya.
Namun, adakah banyak saudara Muslim Ray? Adakah alamat rumah Muslimnya?
Pertanyaan ini membuat saya merenung dan mengevaluasi diri, juga menyesali diri.
Mungkin inilah adalah perjalanan yang memang telah ditakdirkan untuk seorang Ray.
Saya pernah bertanya kepadanya, “Bagaimana dengan pilihan imanmu?” Dan jawabannya tegas, “Islam”. Ia pun melanjutkan dengan menceritakan dengan secara ber-drama tentang ayat-ayat Surat Yasin, ayat 11 sampai 21.
Semasa hidupnya, Ray sering bercanda, tetapi juga terasa serius bertanya kepada saya, “Orang mati itu punya agama atau tidak?” dan “Mengapa orang mati harus pakai simbol agama?” Walaupun akhirnya ia menjawab sendiri, “Agama itu urusan orang hidup.”
Dan keluarganya pun menyampaikan bahwa dua tahun lagi, jenazah Ray akan dipindahkan ke makam keluarganya di Donggala.
Ada kenangan yang masih jelas teringat, ketika saya dan Ray berdua dalam mobil jenazah yang mengantar Giska putrinya dari Ciganjur menuju pemakamannya di Bogor. Sepanjang perjalanan Ray hanya menangis.
Kini Ray sedang dalam perjalanannya menuju negeri keabadian.
Selamat jalan Ray, Sang Pangeran Nusantara.
Semoga perjalananmu penuh kedamaian.DPB Malam Jumat, 3 April 2025
Catatan David Pranata Boer “Ray… Saudara Kramat”
