Jakarta,Centangsatu.Com –KAMIS petang, 10 April 2025, langit Tunggorono berwarna kelabu. Angin tipis menyisir pucuk bambu, membuat daun-daun bergemerisik pelan. Di teras warung Lik Koco empat lelaki duduk melingkar sambil menyeruput kopi tubruk: Pakdhe Galtung, Gus Dun, Wahyu, dan Edy. Mereka sudah biasa ngumpul tiap habis magrib, tapi kali ini ada nuansa yang berbeda.
“Sudah dengar ada kabar viral: Titiek Puspa wafat, Dhe?” tanya Gus Dun pelan, membuka obrolan yang menggantung di udara.
Pakdhe Galtung mengangguk pelan. “Iya, Gus. Sore tadi, pukul 16.25, di Rumah Sakit Medistra, Jakarta. Kabar dari pesan berantai, beliau meninggal di usia 87 tahun karena pendarahan otak. Stroke.”
Wahyu, yang duduk di ujung, menimpali, “Innalillahi. Semoga almarhumah husnul khotimah. Oh ya Dhe, apa betul Tante Titiek itu asal Kutoarjo alias Wong Thorjo?”
Pertanyaan itu membuat Pakdhe Galtung terdiam sejenak. Ia menyulut rokok kreteknya, mengisap pelan, lalu mengembuskan asap ke udara. “Ah, iya… pertanyaan lama itu. Dulu banyak yang mengira beliau orang Cina, karena matanya sipit dan kulitnya putih. Padahal, beliau itu wong Jawa tulen. Dan ya, darah Kutoarjo itu mengalir kenceng di dirinya.”
Lalu Pakdhe mulai bercerita, dengan nada seperti sedang membacakan dongeng.
“Bapaknya Mbak Titiek, namanya Tugeno Puspowidjojo, seorang mantri kesehatan. Pak Tugeno asli Kutoarjo. Persisnya dari Desa Bedono Kluwung – Kemiri, yang pada dasawarsa 1920-an masih masuk wilayah administratif Kabupaten Kutoarjo. Ibunya, Siti Mariam, asal Trenggalek, Jawa Timur. Tahun 1930, keluarga Tugeno yang sudah punya tiga anak, sempat tinggal di Surabaya. Tapi kemudian pindah ke Tanjung, Tabalong, Kalimantan Selatan. Di sanalah, pada 1 November 1937, lahir Sudarwati — anak keempat mereka. Kelak, dunia mengenalnya sebagai Titiek Puspa.”
“Setelah itu keluarga Tugeno balik ke Jawa, lantaran sang bapak diterima kerja di Centraal Burgerlijke Ziekenhuis, sekarang Rumah Sakit Umum Pusat dr. Kariadi,” lanjut Pakdhe. “Waktu itu Sudarwati belum genap berusia tiga bulan. Mereka hijrah ke Semarang, tinggal di Lempongsari, permukiman yang padat penduduk. Keluarga itu sempat hidup cukup baik, sampai kemudian penjajah Jepang datang ke Jawa dan mengubah segalanya. Mereka hidup sengsara akibat kebijakan militer Jepang. Sampai akhirnya memaksa Tugeno membawa pulang keluarganya ke kampung halaman di Kutoarjo, sebelum pindah lagi ke Ambarawa, lalu ke Kranggan, Temanggung.
Pakdhe menekankan kalimat itu dengan sedikit menepuk lututnya.
“Nah, di Kutoarjo itulah banyak kenangan masa kecil Titiek tertinggal. Ibunya, Mariam, jualan kue dari singkong: getuk, lemet, ongol-ongol. Titiek kecil bantuin jualan. Kadang di depan rumah, kadang juga di stasiun. Pernah juga bantu jualan wedang jahe dan teh manis. Bisa dibilang, dia pernah jadi bocah pelapak jalanan di Kutoarjo.”
Pakdhe menambahkan, kehidupan jatuh bangun seperti itu tak terhindarkan, lantaran keluarga Tugeno numpang di kediaman sanak saudaranya. Sempat tinggal di Kluwung, keluarga Tugeno lantas pindah ke dalam kota Kutoarjo. Numpang di rumah Budhe Puh, famili yang lain. Tak ingin terkesan merepotkan, Sudarwati menuruti permintaan sang ibu untuk jualan wedang di stasiun kereta Kutoarjo.
Dalam buku biografinya, _”A Legendary Diva”_, Titiek Puspa bercerita, hasil penjualan wedang hanya cukup untuk kebutuhan makan keluarga dalam dua hari. Jika tak ada lagi makanan yang bisa disantap, ia tak segan memungut sisa-sisa makanan yang tergeletak di jalan.
“Wah, baru tahu penyanyi pop legendaris itu pernah jualan getuk dan wedang…,” gumam Edy, terkagum-kagum.
“Lha iya. Mbak Titiek itu tumbuh dari kerasnya hidup. Tapi dia bukan cuma kuat, dia juga peka,” ujar Pakdhe. “Waktu dia sekolah di Magelang, tiap hari naik kereta dari Kranggan. Nah, di perjalanan itu, saat semua penumpang capek, dia duduk sendiri di tangga gerbong. Dengerin suara mesin, suara _‘jes-jes’_ cerobong, derak roda di rel—semua terdengar seperti musik di kupingnya.”
“Katanya, itu konser rahasia,” lanjut Pakdhe pelan. “Dari situ dia mulai bersenandung. Dan tiap kali hatinya gelisah, ia menyanyi. Suaranya pelan, tapi hatinya penuh. Dari rel kereta itulah, lagu-lagunya lahir pertama kali. Bukan dari panggung, tapi dari kebisingan yang berubah jadi harmoni.”
Gus Dun tersenyum kecil. “Jadi bukan dari Jakarta kariernya dimulai, tapi dari Kranggan, Magelang, dan Kutoarjo?”
Pakdhe tertawa pelan. “Betul. Jakarta mungkin tempat dia bersinar, tapi Kutoarjo tempat dia dibakar pertama kali. Tanah yang mengasah sabar dan rasa.”
Setelah pindah ke Semarang dan sekolah di SMP Ganesha, Titiek makin aktif menyanyi. Ia ikut lomba antar-pelajar, jadi wakil sekolah, menang PORSKALA, dan akhirnya ikut Pemilihan Bintang Radio. Meski sempat gagal di babak penyisihan, namanya tetap mencuat. Suara merdunya menarik perhatian RRI Jakarta. Dan dari sanalah, gerbang istana pun terbuka.
“Tahun 1960, Gordon Tobing datang membawa surat undangan dari Istana. Presiden Soekarno minta Titiek tampil. Dia datang pakai kebaya dan jarik, gemetar katanya. Tapi begitu nyanyi di depan Bung Karno, langsung ditunjuk: ‘Mulai sekarang, kamu penyanyi istana, ya!’”
Pakdhe berhenti sejenak, matanya menerawang.
“Sejak itu, dia keliling dunia bersama rombongan istana. Tapi coba tanya dia, siapa dirinya. Dia pasti bilang: ‘Aku orang Jawa. Aku anak mantri dari Kutoarjo.’”
Petang di Tunggorono kian temaram. Sepeda onthel Pakdhe Galtung bergerak perlahan, meninggalkan tiga kolega mudanya yang masih duduk diam, tenggelam dalam kenangan.
Di kejauhan, suara sepeda tua itu terdengar seperti irama—pelan, tapi tetap berdentang. Seperti suara Titiek Puspa: tak pernah benar-benar pergi, selalu pulang di hati mereka yang tahu bahwa wong Thorjo pernah menyanyi untuk dunia.
Dari mulut ketiga anak muda itu kemudian terdengar senandung lirih:
“𝘛𝘪𝘢𝘥𝘢 𝘩𝘢𝘳𝘪 𝘴𝘦𝘪𝘯𝘥𝘢𝘩 𝘥𝘢𝘩𝘶𝘭𝘶 𝘭𝘢𝘨𝘪. 𝘛𝘪𝘢𝘥𝘢 𝘮𝘶𝘯𝘨𝘬𝘪𝘯 𝘬𝘦𝘮𝘣𝘢𝘭𝘪. 𝘛𝘪𝘢𝘥𝘢 𝘯𝘢𝘮𝘢 𝘴𝘦𝘩𝘢𝘳𝘶𝘮 𝘯𝘢𝘮𝘢𝘮𝘶 𝘭𝘢𝘨𝘪. 𝘛𝘪𝘢𝘥𝘢, 𝘵𝘪𝘢𝘥𝘢 𝘛𝘪𝘵𝘪𝘦𝘬 𝘗𝘶𝘴𝘱𝘢 𝘭𝘢𝘨𝘪…”