Scroll untuk baca artikel
Nasional

HUT ke-20 LIRA di Probolinggo: Dari Daerah, Bara Perlawanan Korupsi Dinyalakan

27
×

HUT ke-20 LIRA di Probolinggo: Dari Daerah, Bara Perlawanan Korupsi Dinyalakan

Sebarkan artikel ini

CentangSatu.com — Di bawah langit dingin kaki Gunung Bromo, ratusan aktivis, jurnalis, dan pengurus daerah berkumpul dalam balutan suasana syukur dan perlawanan. Di Hotel Whizz Bromo, Rabu (18/6), Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) merayakan dua dekade eksistensinya, sekaligus menandai Milad ke-60 pendirinya, Drs. KRH. H.M. Jusuf Rizal, serta ulang tahun ke-15 media jaringan mereka, LIRANEWS.COM.

Namun ini bukan sekadar selebrasi. Dalam napas panjang pidatonya, Presiden LIRA, Jusuf Rizal, menabuh genderang untuk pertempuran yang belum usai: melawan korupsi yang membusuk dari pinggiran hingga pusat kekuasaan.

“Jawa Timur kini jadi fokus utama kami,” tegas Jusuf Rizal di hadapan peserta Rakernas dan awak media. “Ada begitu banyak kasus laten dan terbuka di sini mulai dari korupsi sistemik di Probolinggo hingga penyelewengan bansos tingkat provinsi yang melibatkan puluhan tersangka. Bukan hanya soal hukum, ini soal moral bangsa.”

Bukan tanpa alasan LIRA memilih Probolinggo, jauh dari keramaian politik ibu kota. Menurut Jusuf, masyarakat Jakarta relatif lebih terpapar literasi antikorupsi. Tapi di daerah, gerakan sipil masih terseok oleh tekanan kekuasaan dan minimnya akses informasi yang jujur.

“Kami ingin membangun perlawanan dari daerah. Di sinilah akar demokrasi sebenarnya tumbuh. Jika rakyat di desa-desa dan kecamatan mulai bersuara, para pemilik kekuasaan tak bisa lagi merasa aman,” katanya lantang.

KRH. HM Jusuf Rizal

Bukan Sekadar Seruan

Dalam kesempatan tersebut, Jusuf Rizal juga menyuarakan pandangannya terhadap pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto. Ia menyambut baik agenda pemberantasan korupsi, namun menyampaikan satu catatan krusial: komitmen politik tidak bisa hanya berhenti di pidato.

“Kami akan mendukung penuh jika ada keberanian politik yang nyata dari Presiden. Tapi saya ulangi korupsi tak bisa ditaklukkan dengan retorika. Harus ada tindakan konkret. Harus ada kepala daerah yang diadili. Harus ada institusi yang dibersihkan.”

Suasana Rakernas LIRA berlangsung dalam semangat konsolidasi nasional. Delegasi dari 38 provinsi, termasuk cabang LIRA hingga tingkat kecamatan, menghadiri forum tersebut. Ini memperkuat status LIRA sebagai organisasi dengan jaringan sipil terbanyak di Indonesia rekor yang bahkan dicatat Museum Rekor Indonesia (MURI).

 

Dua Dekade Bara Tak Padam

Dalam sesi terpisah, Pemimpin Redaksi LIRANEWS.COM, Miftah H. Yusufpati, berbicara dengan nada yang lebih kontemplatif. Baginya, usia 20 tahun bagi organisasi masyarakat sipil bukanlah sekadar angka tetapi bukti bahwa idealisme bisa tetap hidup meski berkali-kali dihantam badai politik dan tekanan kekuasaan.

“LIRA bertahan bukan karena kami kebal terhadap godaan dan intimidasi, tapi karena kami memilih untuk tetap menyala dalam bara integritas,” ujar Miftah. “Dan LIRANEWS hadir sebagai penyambung lidah publik, terutama mereka yang suaranya kerap dibungkam oleh media besar yang terlalu dekat dengan kekuasaan.”

Miftah menegaskan bahwa media alternatif seperti LIRANEWS berperan vital dalam menjaga ruang kritik tetap terbuka, di tengah erosi kepercayaan terhadap media arus utama.

“Kami tak akan diam. Kami akan terus menulis, terus melaporkan, terus mengintervensi ruang wacana agar publik tahu bahwa masih ada yang peduli terhadap nasib republik ini.”

 

Lebih dari Peringatan, Ini Adalah Seruan

HUT ke-20 LIRA di Probolinggo menjadi semacam titik balik. Bukan hanya untuk internal organisasi, tapi juga sebagai pengingat bahwa perlawanan terhadap korupsi tidak pernah bisa selesai dengan satu generasi.

Dalam kalimat terakhirnya, Jusuf Rizal menyerukan dengan nada tegas:

“Jangan biarkan nyala integritas ini padam. Jangan kompromikan suara nurani hanya demi kenyamanan sesaat. Negara ini terlalu mahal untuk diserahkan kepada para pemangku kepentingan yang berpikir jangka pendek dan bermental rente. Mari kita rebut kembali makna keadilan sosial, dari tangan-tangan yang merampasnya.”

Dari Probolinggo, bara perlawanan itu kembali dinyalakan. Tidak dengan kemarahan, tetapi dengan konsistensi. Dan sejarah mencatat, perlawanan yang konsisten jauh lebih kuat dari sekadar gebrakan sesaat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *