Scroll untuk baca artikel
Sosial dan budaya

Cuti Maternitas dan Kecerdasan Pekerja Perempuan: Seruan Dr. Farahdhiba Tenrilemba untuk Reformasi Kebijakan

32
×

Cuti Maternitas dan Kecerdasan Pekerja Perempuan: Seruan Dr. Farahdhiba Tenrilemba untuk Reformasi Kebijakan

Sebarkan artikel ini

Centangsatu.com – Bogor, 23 Juli 2025 Dalam sebuah seminar akademik yang berlangsung di Ruang Andi Hakim Nasution, IPB University, isu krusial mengenai kebijakan cuti maternitas di Indonesia mencuat ke permukaan. Seminar bertajuk “Pengaruh Promosi, Sikap Kebijakan, dan Penilaian Cuti Maternitas terhadap Kecerdasan Pekerja Perempuan” ini menjadi panggung bagi akademisi, aktivis, dan pembuat kebijakan untuk menyuarakan perlunya reformasi terhadap regulasi cuti melahirkan yang dinilai sudah tidak relevan dengan kebutuhan zaman.

Hadir dalam seminar ini sejumlah tokoh pendidikan dan peneliti terkemuka, di antaranya Prof. Dr. Ir. Pudji Mulyono, M.Si, Prof. Dr. Ir. Dwi Astuty, M.Sc, Prof. Dr. Ir. Amiruddin Saleh, MS, serta Rektor URINDO Prof. Dr. Cicilia Widianingsih, M.Kes. Diskusi dipandu oleh Prof. Dr. Megawati Simajuntak, M.Si, dan diisi juga oleh pemaparan ilmiah dari Dr. Anissa Utami, M.Si.

Namun, sorotan utama tertuju pada pernyataan lantang Dr. Farahdhiba Tenrilemba aktivis perempuan sekaligus peneliti yang dikenal vokal memperjuangkan hak-hak pekerja perempuan.

Dalam wawancaranya, Dr. Farahdhiba menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap masih minimnya durasi cuti melahirkan di Indonesia. Menurutnya, kebijakan saat ini yang hanya memberikan cuti selama 3 bulan bagi ibu pekerja dinilai tidak manusiawi dan kontraproduktif terhadap misi pembangunan sumber daya manusia.

“Cuti melahirkan 3 bulan itu sangat tidak cukup. Bayangkan, setengah bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelahnya apa cukup untuk pemulihan fisik, mental, serta pemberian ASI eksklusif yang direkomendasikan WHO selama enam bulan? Sekarang ini, banyak ibu yang terpaksa meninggalkan bayinya bahkan sebelum usia dua bulan. Ini bukan hanya soal hak perempuan, tapi hak anak atas pengasuhan yang layak dan hak bangsa untuk memiliki generasi yang kuat dan sehat,” ujar Farahdhiba tegas.

Lebih lanjut, ia mengajak semua pihak untuk melihat persoalan ini bukan semata dari sudut ekonomi, tetapi juga dari perspektif kemanusiaan dan kepentingan jangka panjang bangsa.

“Ketika kita bicara soal cuti maternitas, ini bukan hanya tentang angka, tapi soal keberpihakan pada kehidupan. Kalau kita ingin melahirkan generasi emas 2045, bagaimana bisa kalau dari lahir saja sudah tidak diberikan ruang tumbuh yang layak? Kita butuh keberanian politik untuk memperpanjang cuti menjadi 6 bulan, minimal. Tapi jangan hanya dibebankan ke perusahaan. Ini tanggung jawab kolektif.” ungkapnya

Dr. Farahdhiba kemudian mengusulkan skema pembiayaan kolaboratif agar perpanjangan cuti tidak menjadi beban tunggal bagi pengusaha.

“Selama ini, perusahaan sering kali menolak gagasan cuti lebih panjang karena semua beban gaji ditanggung mereka. Tapi kalau negara hadir, BPJS Ketenagakerjaan ikut andil, dan dunia usaha bersedia berbagi tanggung jawab, maka ini bisa terwujud. Negara-negara Skandinavia saja bisa memberi cuti hingga satu tahun dengan bayaran penuh atau parsial. Kenapa Indonesia tidak bisa? Apakah kita mau terus mengorbankan kualitas generasi hanya demi efisiensi jangka pendek?”

Pernyataan-pernyataan Dr. Farahdhiba mengundang tepuk tangan panjang dari peserta seminar, sekaligus membuka ruang diskusi yang lebih luas mengenai arah kebijakan ketenagakerjaan yang inklusif dan berkeadilan gender.

Dalam penutupnya, Dr. Farahdhiba menegaskan bahwa perjuangan ini bukan hanya milik kaum perempuan, tapi perjuangan semua pihak yang peduli terhadap masa depan bangsa.

“Ini bukan agenda perempuan. Ini agenda nasional. Karena kualitas bangsa dimulai dari rahim ibu yang sehat, jiwa ibu yang tenang, dan bayi yang mendapat kasih sayang penuh sejak lahir.”

Seminar ini diharapkan menjadi momentum awal bagi reformasi kebijakan cuti maternitas di Indonesia agar lebih berpihak pada perempuan pekerja dan masa depan anak bangsa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *