Scroll untuk baca artikel
Nasional

Sound Horeg Difatwa Haram, Cak Ofi Tampil Kritis tapi Santun di Catatan Demokrasi

15
×

Sound Horeg Difatwa Haram, Cak Ofi Tampil Kritis tapi Santun di Catatan Demokrasi

Sebarkan artikel ini

Jakarta,CentangSatu.com — Gelaran talkshow Catatan Demokrasi tvOne pada Selasa malam (22/7/2025) memanas dengan tema kontroversial: “Dikecam, Sound Horeg Difatwa Haram”. Salah satu sosok yang tampil paling vokal adalah Gus Rofi Mukhlis alias Cak Ofi, yang dikenal sebagai Ketua Umum Barisan Ksatria Nusantara (BKN) dan pengusaha kuliner rawon “Bidadari” yang saat ini berganti menjadi Kampung Family yang berlokasi di Lebak Bulus Jakarta Selatan.

Dengan nada tenang namun argumentatif, Cak Ofi menyoroti pentingnya melihat persoalan fatwa haram terhadap penggunaan sound system (atau yang kini populer disebut “sound horeg”) dari berbagai sisi, tidak hanya dari sudut pandang keagamaan, tapi juga kemanusiaan, sosial, dan ekonomi.

“Saya ini santri, mondok di Bangil dan Kediri. Tentu saya menghormati para kiai dan ulama. Tapi saya juga punya teman-teman yang menggantungkan hidup dari usaha sound system. Mereka ini punya keluarga, punya karyawan yang harus dinafkahi,” ujar Cak Ofi membuka pernyataannya.

Ia mengungkapkan bahwa hanya di wilayah Malang saja, terdapat lebih dari 1.200 pelaku usaha sound system. Bila masing-masing punya 10–20 karyawan, maka dampak sosial dari pelarangan secara sepihak akan sangat besar.

“Bayangkan jika satu daerah saja segitu, bagaimana se-Indonesia? Jangan abaikan efek domino-nya. Penjual cilok, sempol, mie goreng di sekitar hajatan juga akan terdampak,” tambahnya.

Cak Ofi tidak memosisikan diri sebagai penentang Majelis Ulama Indonesia (MUI), tapi ia berharap para ulama bisa lebih merangkul, bukan memukul.

“Fatwa jangan buru-buru. Harusnya regulasi dibuat dulu, baru kita bicara soal hukum. Karena kalau sudah disebut fatwa, itu seperti perintah — yang menolak bisa dianggap berdosa. Ini harus hati-hati,” jelasnya.

Ia mengapresiasi pernyataan Wakil Gubernur Jatim Emil Dardak yang menyatakan pemerintah akan mulai menata, bukan melarang, industri hiburan rakyat ini. Namun Cak Ofi juga mengingatkan, regulasi harus adil dan bisa diaplikasikan secara merata.

“Kami bukan menolak diatur. Teman-teman sound system siap mengikuti aturan soal batas suara atau jam operasional. Tapi jangan dilarang total. Ini bukan solusi, malah bisa menciptakan masalah baru,” tegasnya.

Lebih jauh, Cak Ofi juga menyoroti potensi kesalahpahaman publik terhadap semangat syiar seperti sholawatan yang juga menggunakan pengeras suara besar.

“Jangan sampai muncul kesan, kalau urusan ibadah boleh keras, tapi hajatan dilarang. Padahal semua bisa dikomunikasikan, diatur, dan dicarikan jalan tengahnya,” ujarnya.

Menutup argumennya, Cak Ofi menyampaikan contoh konkret bahwa dirinya sebagai pengusaha juga terbuka pada kritik dan adaptasi.

“Saya punya produk kuliner tahu mercon. Karena keluhan pelanggan terlalu pedas, akhirnya saya reformulasi jadi 50% lebih kalem mulai 1 Agustus nanti. Ini contoh bahwa kritik itu penting, tapi harus dibarengi komunikasi dua arah.”

Kehadiran Cak Ofi di talkshow tersebut menyiratkan bahwa diskursus publik tak boleh semata hitam-putih. Ada ruang dialog yang perlu dibuka — bukan hanya antara ulama dan umat, tapi juga antara pembuat kebijakan dan pelaku usaha di level akar rumput.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *