Scroll untuk baca artikel
Metropolitan

Podcast “Dear President” Capai Episode ke-100: Kritik Jurnalis yang Tak Pernah Lelah Menyuarakan Kebenaran

12
×

Podcast “Dear President” Capai Episode ke-100: Kritik Jurnalis yang Tak Pernah Lelah Menyuarakan Kebenaran

Sebarkan artikel ini

Centangsatu.com –  Podcast “Dear President” resmi menapaki episode ke-100 pada 29 Juli 2025. Podcast ini menjadi ruang unik bagi tiga jurnalis senior Haris Jauhari, Didi Suprianto, dan Nugroho F. Yudo yang secara konsisten menyampaikan suara rakyat langsung kepada Presiden Republik Indonesia, tanpa sekat formalitas dan birokrasi.

Podcast ini tidak hanya menjadi sarana kritik, tetapi juga menjadi tonggak perjuangan intelektual dalam menyuarakan kebijakan yang lebih adil dan transparan.

 

Filosofi dan Tekad Awal

Dalam sebuah wawancara khusus, Nugroho F. Yudo menjelaskan latar belakang lahirnya “Dear President”.

“Kami mulai podcast ini bukan karena ingin populer atau viral. Kami cuma ingin berbicara langsung ke Presiden, sebagai warga negara yang punya hak menyampaikan pendapat. Kami percaya, kritik yang jujur dan berbasis data itu bukan bentuk permusuhan, tapi bentuk kasih sayang pada republik ini,” ungkapnya panjang lebar.

Ia menambahkan, “Kalau sampai Presiden mendengar, syukur. Tapi kalau tidak pun, kami sudah melakukan bagian kami. Ini soal moral, bukan soal algoritma media sosial.” katanya

 

Format Sederhana, Isi Tajam

Tanpa bintang tamu atau ahli, format “Dear President” sepenuhnya digerakkan oleh pemikiran dan pengalaman ketiga jurnalis. Mereka mengangkat isu-isu aktual dengan pendekatan data, analisis mendalam, dan dikemas dengan bahasa yang lugas serta mudah dicerna publik.

 

Didi Suprianto menyatakan,

“Kami bukan pengamat yang duduk di menara gading. Kami jurnalis, yang sejak awal terbiasa turun ke lapangan, melihat sendiri fakta di balik berita. Kami bicara dengan cara kami—jujur, blak-blakan, tapi tetap hormat. Kalau ada yang harus ditegur, ya kami tegur. Kalau ada yang harus diapresiasi, kami angkat topinya.” tegasnya

Episode ke-100: Menguliti Isu “Beras Oplosan”

Momentum episode ke-100 diisi dengan isu kontroversial: beras oplosan. Mereka menyoroti ketimpangan antara data pemerintah dan kenyataan di lapangan soal stok beras dan alasan di balik kebijakan impor.

 

Haris Jauhari dengan tegas menyampaikan,

“Bayangkan, data pemerintah sendiri bilang produksi kita 30 juta ton, konsumsi nasional cuma 22 juta ton. Itu selisih 8 juta ton. Tapi kita masih impor? Logika dasarnya di mana? Dan ketika muncul dugaan beras oplosan, justru petani dan pedagang yang disalahkan. Padahal yang harus dikritisi adalah distribusi dan tata kelola stok di level atas.” jelasnya

Nugroho menambahkan,

“Kami tidak sedang menyerang siapa-siapa. Kami hanya bertanya: kalau beras sisa dari tahun lalu yang dilepas ke pasar, siapa yang tanggung jawab soal kualitas dan transparansi datanya? Jangan sampai rakyat yang dirugikan karena permainan data.” ungkapnya.

 

Konsistensi dan Komitmen

Selama 100 episode, ketiga jurnalis ini tetap menjaga komitmen untuk tidak menjadi bagian dari arus informasi yang hanya mengejar sensasi. Mereka mengedepankan akurasi, relevansi, dan tanggung jawab moral.

“Kami tahu, konten kami mungkin tidak akan trending. Tapi kami bukan influencer. Kami wartawan. Dan ini panggilan nurani kami,” tutur Didi dengan mantap.

Mereka bahkan tak segan membatalkan episode jika tema dianggap kurang kuat atau tidak relevan secara nasional. Proses produksi dilakukan sederhana, namun ketajaman kontennya membuat podcast ini punya pendengar setia, termasuk dari kalangan birokrasi.

 

Harapan dan Masa Depan

Menjelang penutupan episode ke-100, Haris menyampaikan refleksi sekaligus harapan.

“Kami tidak bisa memastikan apakah Presiden benar-benar mendengarkan. Tapi kami tahu, apa yang kami suarakan punya dasar, punya data, dan punya tujuan: memperbaiki. Kalau pada akhirnya suara ini sampai ke Istana, itu bonus. Tapi kalau tidak pun, kami akan terus bicara. Karena diam bukan pilihan.”

Podcast “Dear President” bukan hanya sekadar media alternatif. Ia telah tumbuh menjadi suara moral, suara yang mengingatkan bahwa demokrasi sejati tidak lahir dari puja-puji, tapi dari keberanian mengkritik dengan niat memperbaiki.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *