Indramayu,CentangSatu.com — Di sebuah sore yang tenang dan penuh keteduhan di Pondok Pesantren Al-Zaytun, Indramayu, ratusan pasang mata menyimak dengan khidmat. Tepat di usia ke-79 tahun, Syaykh Abdussalam Rasyidi Panji Gumilang, tokoh pendidikan dan pendiri pesantren tersebut, tidak merayakan miladnya dengan pesta. Ia memilih membacakan sebuah puisi—atau lebih tepatnya, petisi jiwa—berjudul “Petisi untuk Negeri.”
Acara yang digelar Rabu (30/7/2025) bertajuk “Bincang Bersama Manifestasi Doa”. Bukan sekadar diskusi, bukan pula perayaan ulang tahun biasa, tetapi sebuah perenungan panjang tentang arah bangsa dan masa depan generasi muda Indonesia.
“Kami Tak Meminta Istana, Kami Hanya Berharap Asrama”
Dalam bait-bait puisi yang dibacakannya langsung, Syaykh Panji menyuarakan keresahan sekaligus harapan. Ia tidak bicara tentang kemewahan, tetapi tentang kesederhanaan yang bermartabat, tentang ratusan pesantren yang belum memiliki asrama layak, dan tentang anak-anak bangsa yang masih belajar di ruang-ruang seadanya.
“Pendidikan bukan sekadar soal nilai rapor. Tapi tentang lantai jiwa, tempat karakter ditumbuhkan,” ujarnya lantang—dan hening pun menyelimuti ruangan.
Puisi itu, yang kini viral sebagai “Petisi Jiwa untuk Negeri”, dianggap sebagai seruan moral kepada para pemimpin bangsa: agar pembangunan tak hanya bicara soal jalan tol dan gedung tinggi, tetapi juga tentang rumah jiwa yang mencetak masa depan bangsa.
Lintas Iman dan Budaya Hadir Menyaksikan
Yang menarik, acara ini dihadiri para tokoh lintas iman dan budaya. Di antaranya Ketum PEWARNA Indonesia Yusuf Mujiono, Ketum Asosiasi Pendeta Indonesia Pdt. Harsanto Adhi, serta seniman dan budayawan Eddie Karsito dari Yayasan Humaniora Rumah Kemanusiaan.
Mereka hadir bukan hanya sebagai tamu, tapi sebagai saksi bahwa pesan moral tidak mengenal batas keyakinan.
“Degradasi moral makin terlihat di era digital. Pesantren seperti Al-Zaytun menjadi penyeimbang yang penting,” ujar Eddie Karsito. “Pembangunan bukan hanya soal ekonomi, tapi juga kualitas jiwa masyarakat.”
Bukan Menuntut, Tapi Mengetuk Nurani
Berbeda dari narasi “kritik” yang biasa dilontarkan dengan keras, Syaykh Panji memilih jalan yang lembut—jalan puisi. Ia tidak menuntut, tetapi mengetuk. Ia tidak marah, tetapi merangkul.
“Kami mohon bukan dengan teriakan, tapi dengan bait yang jujur,” tuturnya.
Bait demi baitnya menggambarkan harapan akan Indonesia yang lebih manusiawi: tempat anak-anak tak hanya tumbuh cerdas, tapi juga berkarakter dan beradab.
Menuju Indonesia Emas 2045: Jangan Lupa Jiwa Bangsa
Dalam refleksinya, Syaykh Panji menekankan bahwa visi Indonesia Emas 2045 tak boleh hanya menjadi jargon. Ia harus menjadi kenyataan yang dibangun dari bawah: dari ruang kelas sederhana, dari pesantren-pesantren kecil, dari suara-suara yang tak terdengar oleh pusat kekuasaan.
“Indonesia tidak akan kuat, jika anak-anaknya kehilangan arah,” katanya dalam penutup puisi yang membuat banyak hadirin terdiam lama.
Sebuah Milad yang Jadi Monumen Nurani
Milad ke-79 ini menjadi bukti bahwa perjuangan membangun bangsa tidak mengenal usia. Bahwa suara dari pesantren di pinggiran Indramayu bisa mengalir hingga ke ruang-ruang kekuasaan—asal disampaikan dengan ketulusan dan keberanian.
Pondok Pesantren Al-Zaytun, dalam pandangan Syaykh Panji, bukan sekadar lembaga pendidikan. Tapi laboratorium jiwa bangsa. Tempat karakter dibentuk, nilai ditanamkan, dan arah bangsa diletakkan.
Dan dari tempat sederhana itulah, sebuah petisi dilahirkan—bukan untuk mengganggu kekuasaan, tapi untuk menguatkan nurani(*) Foto : Istimewa.