Jakarta,CentangSatu.com — Indonesia Police Watch (IPW) menyampaikan kecaman terhadap tindakan personel Badan Intelijen Strategis Tentara Nasional Indonesia (BAIS TNI) yang diduga menangkap dan menganiaya anggota Densus 88 Antiteror Polri, Briptu F, dalam sebuah insiden di Hotel Borobudur, Jakarta, pada 25 Juli 2025 lalu.
Dalam keterangan pers tertulis yang diterima media, Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso menyebut penangkapan tersebut sebagai tindakan sewenang-wenang dan di luar kewenangan TNI. IPW menilai langkah tersebut tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan mencederai prinsip profesionalisme antarlembaga penegak hukum.
Insiden bermula saat Briptu F diduga tengah melakukan tugas pengawasan terhadap seorang warga sipil berinisial FYH yang sedang berada di Bogor Café, Hotel Borobudur. FYH yang menyadari keberadaan anggota Densus 88 tersebut, disebutkan menghubungi seorang petinggi TNI. Tak lama kemudian, personel BAIS TNI datang ke lokasi dan membawa Briptu F.
Laporan media Tempo yang tayang 4 Agustus 2025 dengan judul “Cerita Penangkapan Anggota Densus 88 Ketika Sedang Melakukan Pembuntutan di Hotel Borobudur” turut mengungkap keterlibatan aparat BAIS TNI dalam penangkapan tersebut.
IPW menilai tindakan BAIS TNI yang turun langsung atas permintaan seorang warga sipil patut dipertanyakan. “Selain tidak memiliki kewenangan menangkap, menginterogasi, atau menahan anggota kepolisian, tindakan ini menimbulkan kesan bahwa institusi TNI digunakan sebagai ‘backing’ oleh warga sipil,” kata Sugeng.
Dalam pandangan IPW, penanganan dugaan penganiayaan dan penculikan terhadap Briptu F sepenuhnya merupakan ranah hukum yang dapat ditangani oleh Kepolisian. “Polda Metro Jaya memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap dugaan pidana, termasuk penangkapan dan penggeledahan terhadap pihak-pihak yang diduga terlibat,” ujar Sugeng.
Lebih lanjut, IPW juga menyoroti bahwa ini bukan kali pertama terjadi penangkapan terhadap anggota Densus 88 oleh aparat TNI. Pada Mei 2024, Brigadir Iqbal Mustofa juga sempat ditangkap oleh Polisi Militer TNI ketika tengah membuntuti Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah.
IPW melihat fenomena ini sebagai kemunduran dalam penegakan supremasi sipil dan tata kelola hubungan antar institusi negara. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, Polri berada di bawah Presiden, bukan di bawah struktur komando TNI. Sementara itu, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 yang merevisi UU TNI juga tidak memberikan kewenangan penindakan terhadap anggota Polri kepada TNI.
Dalam Pasal 7 UU No. 3 Tahun 2025 disebutkan bahwa tugas pokok TNI antara lain adalah operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang, yang hanya dapat dilaksanakan berdasarkan keputusan politik negara dan diatur lebih lanjut melalui peraturan pemerintah atau peraturan presiden.
“Jika personel TNI bertindak di luar prosedur, apalagi atas permintaan warga sipil, ini harus menjadi perhatian serius,” tegas Sugeng.
IPW juga mempertanyakan profesionalisme Densus 88 dalam melaksanakan tugasnya, mengingat dalam dua tahun terakhir telah terjadi dua kali penangkapan terhadap personelnya saat melaksanakan operasi pengawasan.Untuk itu, IPW mendorong Kepolisian RI agar bersikap terbuka dan menjelaskan kepada publik secara gamblang mengenai latar belakang dan konteks dari operasi pengawasan terhadap FYH maupun kasus sebelumnya yang melibatkan Jampidsus Febrie Adriansyah.
“Presiden Prabowo Subianto perlu turun tangan untuk meluruskan batas kewenangan dan tugas antar lembaga negara, khususnya Polri, Kejaksaan, dan TNI. Supremasi hukum dan profesionalisme lembaga harus ditegakkan,” pungkas Sugeng.