Scroll untuk baca artikel
Lifestyle

Senyap di Negeri Musik: Kafe-kafe Indonesia Kompak Matikan Lagu, Wamenkopolhukam Teriak “Revisi UU Hak Cipta Sekarang!”

8
×

Senyap di Negeri Musik: Kafe-kafe Indonesia Kompak Matikan Lagu, Wamenkopolhukam Teriak “Revisi UU Hak Cipta Sekarang!”

Sebarkan artikel ini

Jakarta,CentangSatu.com – Bayangkan masuk ke sebuah kafe. Aroma kopi hangat menyeruak. Sofa empuk menanti. Tapi… hening. Tidak ada denting gitar, tidak ada bisikan saxophone, bahkan radio pun mati. Suasana ini bukan konsep minimalis—ini realita yang kini menjangkiti banyak kafe dan restoran di Indonesia.

Penyebabnya bukan listrik padam, melainkan ketakutan kolektif: pelanggaran hak cipta musik.

“Definisi ‘komersial’ dalam UU Hak Cipta ini abu-abu sekali. Kalau lagu diputar untuk menarik pembeli, jelas wajib bayar royalti. Tapi kalau cuma untuk suasana? Nah, ini yang bikin pelaku usaha bingung,” ujar Otto Hasibuan, Wakil Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, dengan nada tegas,seperti dilansir detik,Senin (11/8/2025).

Royalti yang Nyangkut di Tengah Jalan

Meski Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sudah berdiri, masalah klasik masih menghantui: banyak pencipta lagu tak mendaftarkan karyanya. Akibatnya, pembayaran royalti sering mandek—pelaku usaha pun waswas.

“Banyak kafe mikir, daripada ribet dan kena sanksi pidana, mending nggak usah putar lagu sama sekali,” kata Otto.

Dari Disertasi hingga Alarm Nasional

Otto bukan orang baru di isu ini. Disertasi doktoralnya membedah habis soal royalti musik, bahkan ia meneliti langsung ke Jepang dan mengusulkan lahirnya sistem collecting society di Indonesia. Namun, ia mengakui sistem yang berjalan sekarang masih jauh dari sempurna.

Pemerintah Siapkan Operasi Bedah UU

Otto menegaskan revisi UU Hak Cipta sudah tak bisa ditunda lagi. Tiga resep utama ia tawarkan:

1.Definisi komersial yang tegas dan terukur

2.Tarif royalti wajar sesuai skala usaha

3.Sanksi yang proporsional

“Kalau tidak direvisi, industri musik kita akan mati pelan-pelan. Kafe akan tetap bisu, musisi kehilangan panggung—bahkan di speaker kafe,” tutupnya.

Fenomena “kafe senyap” ini bukan sekadar masalah hiburan, tapi alarm keras bahwa regulasi dan ekosistem musik kita sedang tidak sinkron. Dan kalau revisi UU tak kunjung datang, Indonesia bisa saja kehilangan satu wajah khasnya: musik yang hidup di setiap sudut kota.| Foto : Ist

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *