Scroll untuk baca artikel
Nasional

Mewujudkan Koeksistensi Manusia-Orangutan Tapanuli Butuh Kolaborasi Multi Pihak dan Komitmen Jangka Panjang

11
×

Mewujudkan Koeksistensi Manusia-Orangutan Tapanuli Butuh Kolaborasi Multi Pihak dan Komitmen Jangka Panjang

Sebarkan artikel ini

Centangsatu-Belantara Foundation bekerja sama dengan PT. Agincourt Resources, Program Studi (Prodi) Manajemen Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan dan LPPM Universitas Pakuan menyelenggarakan kegiatan Belantara Learning Series Episode 13 (BLS Eps.13) dengan tema “Peluang Koeksistensi Dalam Upaya Konservasi Orangutan Tapanuli” pada Kamis, 4 September 2025.

BLS Eps. 13 secara luring dipusatkan di Auditorium Lantai 3 Gedung Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan di Bogor, sedangkan daring melalui aplikasi Zoom dan live streaming Youtube Belantara Foundation. Lebih dari 780 peserta berpartisipasi aktif dalam kegiatan yang digelar secara hybrid tersebut.

Kegiatan ini juga didukung oleh Forum Konservasi Orangutan Indonesia (FORINA) dan Pusat Riset Primata Universitas Nasional serta menggandeng enam universitas sebagai kolaborator yang mengadakan acara “Nonton dan Belajar Bareng” BLS Eps.13 bagi mahasiswa dan dosen di masing-masing universitas. Enam universitas tersebut yaitu Universitas Pakuan, Universitas Riau, Universitas Andalas, Universitas Negeri Jakarta, Universitas Nusa Bangsa dan Universitas Tanjungpura.

Pada tahun 2023, International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) telah mempublikasikan dokumen panduan tentang konflik dan koeksistensi manusia-satwa liar. Tujuan utamanya adalah untuk menjelaskan berbagai langkah komprehensif dan efektif yang harus dipertimbangkan sebelum penerapan penanganan konflik dan koeksistensi manusia-satwa liar. Tujuan lainnya adalah untuk memberikan masukan mengenai langkah apa saja yang dapat digunakan dalam pengelolaan konflik dan koeksistensi manusia-satwa liar.

Indonesia merupakan salah satu negara “Biodiversity Country” yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi sehingga menjadi rumah bagi berbagai jenis satwa liar unik dan kharismatik, salah satunya adalah orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis). Direktur Konservasi dan Genetik, Ditjen KSDAE Kementerian Kehutanan RI, Nunu Anugrah, S.Si., M.Sc., saat memberikan keynote speech menjelaskan bahwa tantangan pelestarian orangutan termasuk orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis) cukup kompleks dan melibatkan berbagai faktor, baik yang disebabkan oleh aktivitas manusia maupun perubahan alam. Beberapa tantangan utamanya adalah fragmentasi dan menyempitnya habitat, perburuan dan perdagangan ilegal, isolasi populasi dan risiko genetik penyakit, kesadaran dan Pendidikan, serta konflik dengan manusia.

“Menyikapi fenomena tersebut, Pemerintah Indonesia telah melindungi orangutan tapanuli secara hukum melalui Peraturan Menteri LHK No. P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018, dan berbagai inisiatif telah dilaksanakan untuk mendorong koeksistensi antara manusia dan orangutan tapanuli, seperti restorasi habitat, perlindungan serta pengamanan populasi dan habitat orangutan, rehabilitasi orangutan karena jumlah populasinya yang rendah, perlindungan intensif pada kantong-kantong habitat orangutan, pengawasan dan penegakan hukum, serta penyadartahuan dan edukasi publik”, tegas Nunu.

Pada waktu yang sama, Peneliti Ahli Utama, Pusat Riset Zoologi Terapan BRIN, Dr. Wanda Kuswanda, M.Sc., pada keynote speechnya mengungkapkan bahwa orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis) adalah spesies kera besar yang telah dipisahkan dari orangutan sumatera (Pongo abelii) pada akhir tahun 2017 lalu. Menurut Daftar Merah IUCN, orangutan tapanuli berstatus kritis (Critically Endangered) atau sangat terancam punah karena habitatnya terbatas hanya di Hutan Batangtoru, Tapanuli Selatan di Sumatera Utara. Berdasarkan dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Orangutan Pemerintah Indonesia 2019-2029, populasi orangutan tapanuli diperkirakan berjumlah 577-760 individu saja.

Lanjut, Wanda, orangutan tapanuli hanya dapat dijumpai di Hutan Batangtoru yang meliputi tiga kabupaten, yaitu Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara. Luasan Lanskap Batangtoru diperkirakan seluas 240–280 ribu hektar dan yang menjadi habitat orangutan tapanuli hanya sekitar 138.435 ha (49%) serta terpisah dalam tiga blok habitat. Orangutan tapanuli sangat menyukai tanaman budidaya yang ditanam masyarakat sehingga dapat menimbulkan konflik.

“Upaya mitigasi konflik antara manusia dan orangutan tapanuli harus menjadi prioritas multi pihak. Prinsip dasar dalam mitigasi konflik adalah keselamatan bagi manusia dan orangutan tapanuli. Mitigasi konflik dapat dilakukan untuk mengurangi atau menghapus risiko kerugian dan korban yang mungkin terjadi pada kedua belah pihak. Terwujudnya koeksistensi sangat bergantung pada kita sebagai manusia yang diberi amanah sebagai khalifah di bumi, dangan menyetarakan pemenuhan kepentingan manusia dan kebutuhan untuk orangutan”, tegas Wanda.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Belantara Foundation Dr. Dolly Priatna pada paparannya menuturkan bahwa saat ini koekistensi atau hidup berdampingan secara harmonis antara manusia dengan satwa liar sudah menjadi keniscayaan. Salah satu cara yang dapat diaplikasikan adalah menggunakan pendekatan C2C, atau Conflict to Coexixtence, yaitu bagaimana mengubah konflik menjadi sebuah koeksistensi. Pendekatan yang holistik dan adaptif ini menerapkan empat prinsip utama, yaitu menjaga toleransi, berbagi tanggung jawab, membangun ketahanan, serta mengedepankan holisme. Hasil utama yang diharapkan dari pendekatan ini adalah pelestarian satwa liar, hidup berdampingan, perlindungan habitat, dan mengamankan mata pencaharian dan asset masyarakat.

Dolly, yang juga pengajar di Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan menambahkan, untuk membangun dan mewujudkan koeksistensi antara manusia dengan satwa liar yang berkelanjutan diperlukan adanya kondisi kunci dan langkah konkrit, antara lain perencanaan penggunaan lahan berkelanjutan, keterlibatan masyarakat dan pendidikan, adanya manajemen konflik manusia-satwa liar, terwujudnya penghidupan masyarakat yang berkelanjutan, berjalannya penegakan hukum yang tegas, penelitian llmiah dan pemantauan secara regular, kolaborasi dan kemitraan multi pihak, serta adanya kebijakan yang mendukung di tingkat pusat dan daerah, adanya komitmen jangka panjang dari para pihak, serta berjalannya pelestarian dan perlindungan habitat satwa liar. “Kami percaya bahwa dengan adanya kemauan dan komitmen bersama, serta kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, akademisi, pelaku usaha, NGO, masyarakat lokal, serta media, mimpi kita bersama untuik menciptakan lingkungan dimana manusia dan satwa liar dapat hidup berdampingan secara harmonis dapat diwujudkan”, pungkas Dolly.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Hubungan Eksternal PT Agincourt Resources, Sanny Tjan, menegaskan bahwa acara seminar nasional yang didukung perusahaan melalui Belantara Foundation sebagai penyelenggara, merupakan kegiatan untuk membangun kesadaran publik serta meningkatkan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan keanekaragaman hayati, termasuk pelestarian orangutan tapanuli beserta habitatnya.

Menurut Sanny, keberhasilan konservasi keanaekaragaman hayati salah satunya dapat dicapai melalui kolaborasi multipihak yang berjalan berkesinambungan. Kolaborasi ini perlu menghadirkan kontribusi nyata dari seluruh elemen sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing untuk mewujudkan kehidupan yang selaras atau living in harmony.
“Dengan mengadopsi konsep pentahelix yang menyinergikan akademisi, dunia usaha, komunitas, pemerintah, dan media, kita dapat menemukan pendekatan inovatif sekaligus memperkuat implementasi program pelestarian orangutan tapanuli. Namun, hal ini membutuhkan koordinasi yang erat serta komitmen berkelanjutan dari semua pihak sesuai peran masing-masing,” tutur Sanny.

Associate Fellow Departemen Antropologi, FISIP Universitas Indonesia dan Co-founder Anama Consulting, Sundjaya, M.Si., mengatakan bahwa strategi konservasi orangutan tapanuli berbasis masyarakat lokal mulai berkembang dan penting. Etnografi, metode riset dalam antropologi, dapat menjadi langkah awal memahami aspek sosial kultural masyarakat di sekitar hutan dan interaksi mereka dengan orangutan tapanuli. Melalui analisis mendalam dan menyeluruh, etnografi dapat memperkuat strategi dan kebijakan konservasi yang melibatkan pengetahuan dan budaya masyarakat adat atau komunitas lokal, terutama untuk mengoptimalkan faktor-faktor yang dapat mendorong partisipasi aktif mereka dalam pelestarian orangutan tapanuli.

Dalam sambutannya, Dekan Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan, Prof. Dr. Sri Setyaningsih, M.Si., yang menjadi tuan rumah acara, berharap bahwa seminar nasional ini dapat menjadi wadah bagi semua pihak untuk berbagi pengetahuan, pengalaman, serta gagasan baru, tentang bagaimana mewujudkan koeksistensi yang nyata di lapangan. “Kami berterima kasih kepada Belantara Foundation, PT Agincourt Resources, serta mitra lainnya, yang telah mendukung penuh acara ini sehingga berjalan dengan lancar dan sukses. Semoga seminar ini membawa manfaat besar bagi upaya konservasi dan pembangunan berkelanjutan di Indonesia” pungkasnya.

Turut hadir narasumber yang memiliki segudang pengalaman pada bidang pelestarian orangutan beserta habitatnya di Indonesia secara berturut-turut yaitu Dr. Sri Suci Utami Atmoko, Ketua Pusat Riset Primata & Dosen Fakultas Biologi dan Pertanian Universitas Nasional; Onrizal, P.h.D., Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara dan Edy Hendras Wahyono, Orangutan Foundation International serta dimoderatori oleh Sardi Duryatmo, Pemimpin Redaksi Majalah Trubus periode 2020-2023.

Tentang Belantara Foundation
Belantara Foundation adalah organisasi nirlaba independen berbasis di Indonesia yang didirikan pada tahun 2014. Belantara memainkan peran penting dalam konservasi lingkungan, restorasi hutan, konservasi satwa liar, dan pengembangan masyarakat berkelanjutan di seluruh Indonesia, khususnya di Sumatra dan Kalimantan. Misi Belantara adalah untuk mendukung pengelolaan lanskap berkelanjutan, mencapai keseimbangan antara pembangunan ekonomi jangka panjang, meningkatkan penghidupan masyarakat lokal, dan melindungi lingkungan. Pada bulan November 2024, Belantara menjadi Anggota International Union for Conservation of Nature (IUCN). Informasi lebih lengkap mengenai Belantara Foundation dapat dilihat di www.belantara.or.id.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *