Scroll untuk baca artikel
Lifestyle

Belantara Foundation dan Universitas Pakuan Gaungkan Konsep Koeksistensi di IUCN World Conservation Congress 2025, Dorong Mitigasi Konflik Manusia-Gajah Sumatra

7
×

Belantara Foundation dan Universitas Pakuan Gaungkan Konsep Koeksistensi di IUCN World Conservation Congress 2025, Dorong Mitigasi Konflik Manusia-Gajah Sumatra

Sebarkan artikel ini

ABU DHABI, CentangSatu – Belantara Foundation bersama Universitas Pakuan menegaskan pentingnya pendekatan koeksistensi manusia dan satwa liar sebagai solusi jangka panjang dalam mitigasi konflik manusia-gajah sumatra. Pesan ini disampaikan dalam panel diskusi berjudul “A Conservation Partnership Fighting to Protect Biodiversity in Asia” pada IUCN World Conservation Congress 2025 yang berlangsung di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, Sabtu (11/10/2025).

Panel tersebut digagas oleh organisasi konservasi asal Amerika Serikat, Conservation Allies, dan menghadirkan berbagai mitra konservasi dari Asia, termasuk Indonesia, Filipina, dan India. Dalam kesempatan itu, Belantara Foundation bersama Universitas Pakuan membawakan paparan bertajuk “Coexistence in the Making: From Human–Elephant Conflict to Harmony in Industrial Landscape”, yang menyoroti inisiatif mereka di Lanskap Sugihan–Simpang Heran, Sumatera Selatan.

Direktur Eksekutif Belantara Foundation sekaligus dosen Program Pascasarjana Universitas Pakuan, Dr. Dolly Priatna, menjelaskan bahwa upaya membangun harmoni antara manusia dan gajah tidak bisa lagi sekadar mengandalkan pendekatan pengusiran atau pengamanan wilayah. Ia menekankan perlunya membangun hubungan timbal balik antara manusia dan alam melalui pemahaman, adaptasi, dan inovasi sosial-ekologis.

“Kita tidak bisa terus-menerus melihat gajah sebagai ancaman atau hama. Mereka adalah bagian penting dari keseimbangan ekosistem,” ujar Dolly dalam paparannya.

“Populasi gajah sumatra kini sangat terfragmentasi mereka tersebar di kantong-kantong kecil yang kian terisolasi akibat deforestasi, perburuan, dan ekspansi lahan industri. Kondisi ini memicu konflik intensif dengan manusia, terutama di kawasan perkebunan dan permukiman. Namun, daripada memperlebar jarak, kami ingin membangun jembatan. Kami percaya koeksistensi adalah satu-satunya jalan untuk keberlanjutan,” tambahnya panjang.

“Melalui kerja sama lintas sektor dari masyarakat lokal, akademisi, perusahaan, hingga pemerintah kami membangun model konservasi partisipatif yang konkret. Ini meliputi optimalisasi koridor ekologis, edukasi anak-anak sejak dini, pembangunan menara pemantau gajah, hingga penyediaan pakan tambahan dan artificial saltlick untuk memenuhi kebutuhan mineral mereka,” jelas Dolly dengan nada tegas namun penuh harap.

Dolly juga menuturkan bahwa di Lanskap Sugihan–Simpang Heran, yang luasnya mencapai sekitar 600.000 hingga 700.000 hektar, hidup sekitar 100–120 ekor gajah sumatra. Kawasan ini terdiri atas mosaik ekosistem mulai dari rawa gambut, hutan produksi, hingga area perkebunan yang menuntut inovasi kolaboratif agar manusia dan gajah bisa berbagi ruang hidup tanpa saling merugikan.

Presiden Conservation Allies, Dr. Paul Salaman, memberikan apresiasi tinggi terhadap pendekatan yang dilakukan Belantara Foundation dan Universitas Pakuan. Menurutnya, konsep koeksistensi yang mereka gagas adalah salah satu model paling realistis dalam menghadapi tantangan konservasi di Asia Tenggara.

“Belantara tidak hanya berbicara tentang perlindungan spesies, tetapi juga tentang keadilan ekologis. Mereka mengubah paradigma konflik menjadi kolaborasi,” ujar Dr. Salaman.

“Kami di Conservation Allies berkomitmen mendukung program ini melalui pendanaan, pelatihan, dan peningkatan kapasitas lokal. Kami percaya bahwa keberhasilan Belantara bisa menjadi contoh global bagi negara-negara lain dalam melestarikan gajah Asia secara transparan dan berkelanjutan,” tambahnya.

Sementara itu, Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) KLHK, Prof. Dr. Satyawan Pudyatmoko, menegaskan bahwa gajah sumatra kini berstatus Kritis (Critically Endangered) dalam daftar merah IUCN, sehingga setiap langkah mitigasi memiliki nilai strategis bagi keberlanjutan spesies tersebut.

“Kami sangat mengapresiasi inisiatif Belantara dan Universitas Pakuan yang tidak hanya berorientasi pada perlindungan satwa, tetapi juga kesejahteraan masyarakat,” tutur Prof. Satyawan.

“Jika kita mampu mengubah konflik menjadi koeksistensi, maka itu bukan sekadar keberhasilan konservasi, melainkan kemenangan kemanusiaan. Program ini diharapkan dapat menjadi contoh nyata bahwa keharmonisan antara manusia dan satwa liar bukan utopia, tapi sesuatu yang bisa diwujudkan,” ujarnya penuh optimisme.

Belantara Foundation sendiri merupakan organisasi nirlaba yang berfokus pada konservasi dan pengelolaan lanskap berkelanjutan di Indonesia. Sejak November 2024, Belantara resmi menjadi anggota IUCN, memperkuat posisinya sebagai mitra global dalam upaya pelestarian keanekaragaman hayati dan pembangunan berkelanjutan di Asia Tenggara.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *