Jakarta, 3 Juli 2025, CENTANGSATU.COM,- negara sebesar ini, urusan perut rakyat kecil sering kali cuma jadi catatan kaki dalam pidato politik. Kita sudah terlalu sering mendengar janji, tapi lupa bagaimana rasanya janji itu benar-benar kita santap dan sampai ke meja makan. Namun kini, ada sesuatu yang berbeda. Tidak gegap gempita, tidak penuh selebrasi, tapi terasa menyusup pelan ke dapur-dapur sederhana: “program makan bergizi gratis”. Bukan janji kosong, tapi langkah nyata. Dan kali ini, layak kita beri ruang untuk optimisme.
Bayangkan anak-anak sekolah di pelosok dan pinggiran kota yang biasanya hanya sarapan air putih dan sisa nasi semalam. Kini mereka bisa duduk di bangku kelas dengan perut yang tidak keroncongan, menyantap makanan hangat yang penuh gizi. Bukan sekadar nasi dan garam, tapi ada telur rebus, ada sayur tumis, ada susu. Di titik ini, negara benar-benar hadir. Bukan dalam bentuk baliho atau seragam upacara, tapi dalam bentuk sendok yang menyuap nutrisi ke mulut anak-anak kita, ke generasi penerus bangsa. Sesuatu yang selama ini terasa mewah bagi banyak keluarga.
Lebih dari itu, program ini bukan sekadar proyek bagi-bagi makanan. Ia adalah strategi yang menyentuh akar: gizi, pendidikan, dan kemandirian ekonomi. Ketika anak-anak makan dengan cukup, mereka belajar dengan lebih fokus. Ketika dapur umum dikelola oleh warga, ibu-ibu rumah tangga jadi punya penghasilan. Ketika bahan makanan dibeli dari petani sekitar, sawah dan ladang kembali bergairah. Ini bukan sekadar tentang makan, ini tentang menghidupkan ekosistem sosial dari bawah, dan itulah perputaran ekonomi yang sebenarnya.
Dan di balik itu semua, ada satu kata kunci yang ikut bergema, Koperasi. Ya, “Koperasi Merah Putih”. Sebuah cita-cita lama yang sedang dihidupkan kembali, dengan semangat yang lebih segar. Bukan koperasi tua yang penuh dengan alur birokrasi dan papan nama using di meja-meja tak berguna, tapi koperasi yang bisa menjembatani hasil tani rakyat ke kebutuhan dapur negara. Ini cara paling masuk akal untuk memotong jalur tengkulak dan distribusi yang penuh manipulasi. Kalau benar-benar dikelola dengan hati dan di integrasikan dengan teknologi. koperasi bisa jadi mesin penggerak ekonomi rakyat yang sesungguhnya.
Tentu saja, semua ini belum sempurna. Kita tahu, di lapangan selalu ada lubang. Bisa soal logistik, bisa soal kualitas makanan, bisa juga soal birokrasi yang lamban. Tapi kali ini, izinkan kita berhenti sejenak dari sinisme. Tidak semua niat baik harus langsung sempurna. Terkadang, yang kita butuhkan adalah komitmen yang dijaga dan niat yang terus dikawal. Karena dari niat itu, perbaikan bisa tumbuh. Dari langkah awal itu, perubahan bisa terjadi.
Bukan rahasia, rakyat kecil sudah terlalu lama dijadikan objek pembangunan. Mereka mendengar tentang program hebat dari televisi, tapi dapurnya tetap gelap. Anak-anaknya tetap kurus, ibunya tetap bingung besok masak apa. Tapi sekarang, setidaknya ada secercah cahaya. Ada kompor yang kembali mengepul, ada anak yang bisa kenyang tanpa harus menunggu gaji akhir bulan. Ada ibu yang bisa tidur lebih tenang karena tahu besok anaknya tidak akan sekolah dengan perut kosong.
Dan bukan hanya soal makanan. Ini juga soal harga diri. Karena saat negara hadir lewat nasi hangat dan telur rebus, yang diberikan bukan cuma gizi, tapi juga pengakuan bahwa rakyat kecil berhak hidup layak. Layak makan enak. Layak tumbuh sehat. Layak mendapat tempat di hati pemimpin mereka.
Kadang kita lupa, bahwa pembangunan tidak selalu harus megah. Tidak harus lewat bandara baru atau jalan tol yang panjang. Kadang, pembangunan paling berarti justru dimulai dari dapur dan meja makan. Dari piring yang tak lagi kosong. Dari anak yang bisa belajar tanpa kelaparan. Dari ibu yang bisa tersenyum melihat anaknya kenyang, bukan karena sedekah, tapi karena kebijakan yang berpihak pada rakyat.
Mungkin untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, kita melihat negara. benar-benar turun tangan dalam urusan paling mendasar: urusan dapur. Bukan untuk pencitraan, bukan untuk headline media, tapi karena itu memang tugasnya. Dan jika kebijakan ini terus dijaga, terus dikawal, terus diperbaiki, maka kita sedang menyaksikan sesuatu yang luar biasa: Negara yang tidak hanya hadir di Istana, tapi juga di dapur rakyat.
Jadi, mari kita beri ruang bagi harapan. Bukan karena pemerintah ini tanpa cacat. Tapi karena untuk sekali ini, mereka mencoba menyentuh hidup kita dari tempat yang paling jujur: dapur-dapur rakyat.