Centangsatu.com – Dalam peringatan Global Tiger Day atau Hari Harimau Sedunia tahun ini, dunia menyoroti tema “Harmonious Coexistence between Humans and Tigers” atau Hidup Berdampingan Secara Harmonis antara Manusia dan Harimau. Tema ini menyerukan pentingnya menghormati batas-batas alam dan memulihkan hubungan spiritual yang telah lama ada antara manusia dan harimau. Di Indonesia, makna ini berakar kuat pada kearifan lokal yang tersebar dari Aceh hingga Lampung, menjadikan harimau sumatra tidak hanya sebagai satwa liar, tapi juga penjaga warisan budaya.
Direktur Eksekutif Belantara Foundation, Dr. Dolly Priatna, menekankan bahwa nasib harimau sumatra sangat bergantung pada sinergi antara ilmu pengetahuan modern dan nilai-nilai tradisional yang sudah lama hidup dalam masyarakat.
“Kita tidak bisa menyelamatkan harimau hanya dengan pagar kawat dan patroli. Kita juga harus memahami bagaimana masyarakat adat telah hidup berdampingan dengan harimau selama berabad-abad. Di Sumatera, harimau tidak hanya disebut sebagai predator puncak, tapi juga leluhur, penjaga, bahkan penuntun moral. Dalam tradisi mereka, harimau hadir sebagai pengingat: kalau kita tak menjaga hutan, maka kita melukai sesuatu yang sakral. Pendekatan ini sangat relevan dengan tema tahun ini: koeksistensi yang harmonis,” tutur Dolly panjang lebar.
Ia menambahkan bahwa pelestarian harimau tidak akan bertahan jika hanya mengandalkan peraturan formal.
“Kearifan lokal harus menjadi pilar dalam setiap rencana konservasi. Ketika masyarakat percaya bahwa harimau adalah ‘Ompung’, ‘Inyiak’, atau ‘Puyang’, maka secara tidak langsung mereka sudah membangun sistem perlindungan yang berbasis rasa hormat. Inilah yang harus kita rawat dan integrasikan dalam kebijakan. Konservasi tanpa budaya akan kehilangan rohnya,” ungkap Dolly, yang juga akademisi di Universitas Pakuan.
Ketua Forum HarimauKita, Iding Achmad Haidir, memperkuat gagasan tersebut dengan menjelaskan bahwa isu pelestarian harimau kini tak bisa lagi berdiri sendiri sebagai masalah lingkungan, tetapi juga sebagai bagian dari pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal.
“Kami mengangkat tema Harimau Sumatra, Harimau Indonesia, HarimauKita agar ada pengakuan kolektif terhadap harimau sebagai bagian dari identitas bangsa. Namun pelestarian tidak bisa berhasil tanpa melibatkan masyarakat. Program konservasi harus membawa manfaat nyata, seperti pendapatan alternatif yang sejalan dengan pelestarian alam. Harimau tidak akan aman jika manusia lapar dan terpinggirkan. Kita butuh pendekatan yang adil dan inklusif,” jelasnya.
Jejak Kearifan Lokal: Harimau dalam Cerita dan Doa
Dalam rangka memperingati Hari Harimau Sedunia 2025, Belantara Foundation menyebarkan edukasi publik tentang kisah dan simbolisme harimau sumatra dalam budaya lokal. Di Aceh, harimau dikenal sebagai Rimueng, seringkali dikisahkan sebagai penjaga makam keramat. Di Sumatera Utara, disebut Ompung, sosok harimau dituakan layaknya kakek mereka yang masuk hutan harus “meminta izin” secara spiritual agar tidak mengusik penguasa rimba.
Bapak Kholis Siregar, Pemerhati Lingkungan dari Sipirok, Sumatera Utara, menyampaikan betapa dalamnya makna harimau bagi masyarakat setempat.
“Di kampung kami, hutan bukan cuma ladang kayu atau tempat berburu. Itu rumah Ompung harimau yang kami hormati seperti kakek sendiri. Kalau dia datang ke kampung, kami nggak langsung panik. Kami introspeksi dulu, mungkin ada aturan adat yang kami langgar. Jadi dia bukan ancaman, tapi pengingat,” tuturnya dalam sesi dialog di Medan.
Di Kerinci, Jambi, tradisi menyebut harimau dengan nama-nama halus seperti dio, hantuo, atau diyau mencerminkan penghormatan yang mendalam. Ketua Lembaga Kerapatan Adat Nenek Empat, H. Candra Purnama, S.H., M.H., menjelaskan pentingnya ritual adat sebagai bentuk hubungan spiritual antara manusia dan harimau.
“Kalau kami masuk hutan tanpa izin atau menyebut kata ‘harimau’ sembarangan, itu dianggap tak sopan. Leluhur kami sudah lama percaya bahwa harimau bukan cuma binatang, tapi bagian dari perjanjian spiritual yang melindungi desa dan hutan. Kalau dia muncul di kampung, kami buat ritual Ngagah Harimau untuk menjaga kedamaian. Ini bukan tahayul, tapi tata hidup yang menjaga keseimbangan,” jelasnya.
Di daerah lain seperti Riau, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan, harimau juga disapa sebagai Datuk, Inyiak, atau Puyang dalam peran sebagai pelindung, simbol kekuatan, bahkan guru dalam seni bela diri seperti silek harimau.
Di Bengkulu, legenda Tujuh Manusia Harimau yang ditulis Motinggo Busye dan disebut pula oleh William Marsden pada abad ke-18 menjadi bukti kuat bahwa harimau telah lama hidup dalam imajinasi dan nilai luhur masyarakat.
Kisah-kisah tersebut menunjukkan bahwa harimau sumatra tidak hanya hadir sebagai entitas biologis, tapi juga bagian dari jati diri budaya Indonesia. Menurut Belantara Foundation, mengintegrasikan nilai-nilai lokal ini ke dalam pendekatan konservasi akan memperkuat keterlibatan masyarakat dan memperpanjang umur harimau sumatra di habitat aslinya.
“Kalau kita bicara masa depan harimau, kita sedang bicara soal masa depan manusia juga. Harimau butuh hutan. Manusia butuh air, udara bersih, dan tanah yang subur semua itu berasal dari hutan. Jadi kalau kita menjaga harimau, kita sedang menjaga diri kita sendiri. Dan kita bisa mulai dari menghargai cerita-cerita lama yang sesungguhnya mengandung kebenaran ekologis yang dalam,” pungkas Dolly.
Hari Harimau Sedunia 2025 adalah momen refleksi tentang apa yang telah kita rusak, apa yang masih bisa kita selamatkan, dan warisan apa yang ingin kita tinggalkan untuk generasi mendatang. Harimau bukan hanya soal konservasi, tapi tentang peradaban yang memilih untuk hidup selaras dengan alam, bukan menaklukkannya. Mari jaga hutan, rawat budaya, dan hidup harmonis bersama harimau.