Jakarta,CentangSatu.com —Di ruang rapat Komisi XIII DPR RI, suasana pada Kamis siang (21/8) terasa lebih tegang dari biasanya. Deretan kursi dipenuhi oleh pejabat negara, legislator, hingga musisi terkenal. Ariel NOAH, Vina Panduwinata, dan Sammy Simorangkir duduk berdampingan, wajah mereka serius, seakan membawa beban suara ribuan seniman yang karyanya hidup dari royalti.
Di ujung ruangan, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengetuk meja, memberi tanda rapat dimulai. Agenda utamanya jelas: membedah kegaduhan publik soal royalti musik yang dalam beberapa bulan terakhir memicu protes keras dari pelaku usaha kecil dan masyarakat umum.
Polemik yang Memanas
Polemik bermula dari praktik pungutan royalti oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dan sejumlah Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Banyak laporan muncul: pedagang kecil, kafe sederhana, hingga salon pinggir jalan mengeluh diminta membayar royalti hanya karena memutar musik.
“Royalti itu hak pencipta, bukan untuk kepentingan lain,” tegas Dasco usai rapat, menyinggung praktik pungutan yang disebutnya “di luar kewajaran.”
Sikap serupa juga diutarakan anggota Komisi XIII DPR RI dari Fraksi PKS, Yanuar Arif. Menurutnya, kerja LMKN dan LMK perlu diawasi lebih ketat agar tidak menimbulkan keresahan. “Karya seniman harus dihargai, tapi jangan sampai masyarakat kecil jadi korban,” ujarnya.
Musisi Bicara: Antara Hak dan Beban Moral
Hadirnya musisi di ruang rapat memberi dimensi baru pada polemik ini. Ariel NOAH, misalnya, mengingatkan pentingnya menghormati hak cipta. Bagi musisi, royalti bukan sekadar angka—tapi penghargaan atas jerih payah mencipta lagu.
Namun, di balik itu, ada dilema. Vina Panduwinata menyebut dirinya tak ingin karyanya justru menjadi beban bagi masyarakat. “Kami ingin dihargai, tapi juga tidak ingin rakyat kecil ketakutan hanya karena memutar lagu kami,” katanya dengan suara lirih.
Sistem yang Kusut
Masalah utama tampaknya bukan pada konsep royalti, melainkan pada sistemnya. Transparansi masih dipertanyakan: berapa sebenarnya yang masuk ke kantong pencipta lagu? Bagaimana mekanisme pembagiannya?
Sejumlah pengamat menilai, LMKN terlalu agresif dalam menarik royalti tanpa peta yang jelas mengenai skala usaha. Padahal, di banyak negara, royalti dibedakan antara pemakaian komersial besar (konser, hotel, stasiun TV) dan pemakaian terbatas seperti warung kopi kecil.
Di Indonesia, batas itu kabur. Alhasil, muncul kesan royalti berubah menjadi pungutan liar yang dilembagakan.
DPR di Persimpangan Jalan
Kini, bola panas berada di tangan DPR. Dasco sudah berjanji akan mengumumkan langkah tegas dalam beberapa hari ke depan. Pertanyaannya: apakah DPR akan mendorong revisi regulasi, membentuk badan pengawas independen, atau bahkan melakukan moratorium pungutan royalti untuk usaha kecil?
Bagi para musisi, keputusan ini akan menentukan masa depan ekosistem musik di Indonesia. Bagi masyarakat, khususnya pelaku usaha mikro, ini adalah soal keadilan dan kelangsungan hidup.
Royalti: Untuk Siapa Sebenarnya?
Royalti sejatinya adalah bentuk penghormatan pada kreativitas. Tapi tanpa pengelolaan yang adil dan transparan, ia bisa berubah menjadi momok. Pertanyaan besar pun kembali menggema di ruang publik:
Royalti ini untuk melindungi musisi, atau sekadar membuka celah pungutan baru?|Foto : Istimewa.