Eksekusi Rumah di Cileungsi Menuai Kecaman, Warga Tuding Metland Abaikan Hak Konsumen
Bogor, 15 Oktober 2025
Kasus relokasi paksa yang dilakukan PT Metropolitan Land Tbk (Metland) terhadap debitur (EN) di Perumahan Metland Cileungsi Blok FD 4 No.5, Kabupaten Bogor, menuai kecaman publik. Proses relokasi yang terjadi pada Kamis (9/10/2025) itu disebut berlangsung sepihak dan diwarnai dugaan aksi premanisme.
EN mengaku menjadi korban penggusuran tanpa dasar hukum yang sah. Ia menuntut dana kerohiman dan ganti rugi immateril, menilai pihak pengembang melakukan eksekusi tanpa surat putusan pengadilan.
“Pihak Metland memasang spanduk dan mengambil alih rumah saya secara paksa tanpa putusan pengadilan,” ujar EN.
Seblumnya, EN bersama kuasa hukumnya telah dua kali mendatangi manajemen Metland untuk mencari solusi, namun pertemuan itu gagal. Pihak Metland menolak tuntutan dengan alasan EN dianggap menunggak cicilan rumah.
Upaya persuasif yang dilakukan EN bersama komunitas Dakwah Lepas Riba (DLR) justru berujung ricuh. Bentrokan terjadi antara pihak pengembang dan kelompok warga, hingga dua awak media mengalami luka-luka dan terjadi kerusakan pada pintu serta pagar rumah. TNI disebut sempat turun tangan untuk menengahi situasi.
Kuasa hukum EN, [DLR Legal Partners], menilai ada pelanggaran prosedur hukum dalam proses relokasi tersebut.
“Kami menduga ada penyalahgunaan wewenang dan tindakan intimidatif di lapangan,” tegasnya.
Pihak debitur hanya menuntut agar Metland memberikan dana kerohiman sebagai bentuk tanggung jawab atas kerugian yang dialami. EN menyatakan siap mengosongkan rumahnya jika tuntutan tersebut dipenuhi.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak PT Metropolitan Land Tbk belum memberikan tanggapan resmi terkait kasus ini. Publik mendesak agar pemerintah dan aparat hukum turun tangan untuk memastikan proses berjalan adi (Metland) terhadap debitur (EN) di Perumahan Metland Cileungsi Blok FD 4 No.5, Kabupaten Bogor, menuai kecaman publik. Proses relokasi yang terjadi pada Kamis (9/10/2025) itu disebut berlangsung sepihak dan diwarnai dugaan aksi premanisme.
EN mengaku menjadi korban penggusuran tanpa dasar hukum yang sah. Ia menuntut dana kerohiman dan ganti rugi immateril, menilai pihak pengembang melakukan eksekusi tanpa surat putusan pengadilan.
“Pihak Metland memasang spanduk dan mengambil alih rumah saya secara paksa tanpa putusan pengadilan,” ujar EN.
Seblumnya, EN bersama kuasa hukumnya telah dua kali mendatangi manajemen Metland untuk mencari solusi, namun pertemuan itu gagal. Pihak Metland menolak tuntutan dengan alasan EN dianggap menunggak cicilan rumah.
Upaya persuasif yang dilakukan EN bersama komunitas Dakwah Lepas Riba (DLR) justru berujung ricuh. Bentrokan terjadi antara pihak pengembang dan kelompok warga, hingga dua awak media mengalami luka-luka dan terjadi kerusakan pada pintu serta pagar rumah. TNI disebut sempat turun tangan untuk menengahi situasi.
Kuasa hukum EN, [DLR Legal Partners], menilai ada pelanggaran prosedur hukum dalam proses relokasi tersebut.
“Kami menduga ada penyalahgunaan wewenang dan tindakan intimidatif di lapangan,” tegasnya.
Pihak debitur hanya menuntut agar Metland memberikan dana kerohiman sebagai bentuk tanggung jawab atas kerugian yang dialami. EN menyatakan siap mengosongkan rumahnya jika tuntutan tersebut dipenuhi.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak PT Metropolitan Land Tbk belum memberikan tanggapan resmi terkait kasus ini. Publik mendesak agar pemerintah dan aparat hukum turun tangan untuk memastikan proses berjalan adil dan transparan.