Jakarta, CentangSatu.com – Upaya menjaga keanekaragaman hayati di tengah kawasan perkotaan terus digencarkan. Belantara Foundation berkolaborasi dengan Gaia Indonesia, Himpunan Mahasiswa Biologi Helianthus FMIPA, serta Wapalapa Universitas Pakuan menggelar Belantara Biodiversity Class di Tebet Eco Park, Jakarta Selatan, Sabtu (20/12/2025).
Kegiatan ini difokuskan pada peningkatan kapasitas generasi muda dalam mendata dan mengidentifikasi biodiversitas perkotaan, khususnya satwa burung, amfibi, dan reptil yang hidup di ruang terbuka hijau kota. Selain sebagai sarana edukasi, kegiatan ini juga bertujuan memperbarui data keberadaan satwa liar di kawasan Tebet Eco Park.
Direktur Eksekutif Belantara Foundation, Dr. Dolly Priatna, menilai Tebet Eco Park memiliki peran strategis sebagai habitat alami sekaligus ruang belajar terbuka. Menurutnya, taman kota seluas 7,3 hektar ini menyimpan potensi ekologis yang penting untuk dipahami dan dijaga bersama.
“Taman kota seperti Tebet Eco Park bukan hanya ruang rekreasi, tetapi juga ruang hidup bagi berbagai jenis satwa. Pendataan biodiversitas menjadi langkah penting untuk memastikan pengelolaannya tetap sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan,” ujar Dolly dalam keterangannya.
Ia menambahkan, hasil pendataan satwa liar dapat menjadi dasar evaluasi kebijakan pengelolaan taman kota, sekaligus menjadi referensi ilmiah bagi pelajar dan mahasiswa yang menekuni bidang biologi dan lingkungan. Dolly juga menekankan pentingnya ruang terbuka hijau sebagai laboratorium alam di tengah padatnya kawasan urban.

Berdasarkan dokumen Rencana Induk Pengelolaan Keanekaragaman Hayati Provinsi DKI Jakarta 2025–2029, sebelumnya tercatat sedikitnya 25 jenis burung, 2 jenis amfibi, dan 3 jenis reptil di Tebet Eco Park. Namun, data tersebut perlu diperbarui secara berkala untuk memantau dinamika populasi satwa.
Dari hasil pengamatan lapangan yang dilakukan pada pukul 07.00 hingga 10.00 WIB, tim berhasil mengidentifikasi 20 jenis burung, 1 jenis amfibi, dan 8 jenis reptil. Salah satu temuan penting adalah keberadaan burung betet biasa (Psittacula alexandri) yang masuk dalam kategori satwa dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri LHK.
“Keberadaan satwa-satwa ini menjadi indikator kualitas lingkungan. Jika biodiversitas masih terjaga, artinya ekosistem di kawasan tersebut masih berfungsi dengan baik,” jelas Dolly, yang juga merupakan anggota Commission on Ecosystem Management IUCN.
Selain itu, berdasarkan Daftar Merah IUCN, burung betet biasa berstatus Near Threatened (hampir terancam punah), sementara burung kerak kerbau (Acridotheres javanicus) masuk kategori Vulnerable atau rentan punah. Temuan ini menegaskan pentingnya perlindungan habitat satwa di kawasan perkotaan yang kian terdesak oleh pembangunan.
Kegiatan Belantara Biodiversity Class diikuti oleh 70 siswa dari 30 SMA dan sederajat yang berasal dari Jakarta, Bogor, Depok, dan Tangerang. Para peserta tidak hanya mendapatkan materi teori, tetapi juga terlibat langsung dalam praktik identifikasi satwa di lapangan.
Melalui kegiatan ini, Belantara Foundation berharap kesadaran generasi muda terhadap pentingnya konservasi lingkungan dapat tumbuh sejak dini, sekaligus mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam menjaga keseimbangan ekosistem kota.


















